Sejak Agustus 1931, surat kabar Sin Po semakin diburu masyarakat. Tak sekadar ingin baca berita hari ini, namun penasaran apa yang dilakoni Put On kali ini. Dia adalah peranakan Tionghoa yang menjadi tokoh komik berjudul Put On di koran itu. Ada saja cerita kelucuan yang muncul dalam kesehariannya di kota yang sedang alami urbanisasi baru itu, Batavia (Jakarta).
 
Kisah kekonyolan Put On dalam beradaptasi dengan relasi-relasi baru, tertarik dengan perempuan, pacaran, jajan, keberhasilan mengakses air bersih, dan lain-lain menjadi potret sosial di Batavia kala itu. Komik strip karya Kho Wan Gie ini pun menyaingi kepopuleran Tarzan, Rip Kirby, Phantom, dan Johnny Hazard yang diangkat sebagai komik di koran De Java Bode dan D’orient.
 
Put On menandai kemunculan komik strip yang disebut-sebut merupakan cikal bakal perkembangan bisnis cerita bergambar (cergam) di tanah Nusantara. Dinamikanya dimulai pada awal 1950. Kisah heroik "Pendudukan Jogja" karya Abdulsalam, muncul di harian Kedaulatan Rakyat, bahkan berhasil dijadikan komik dalam format buku.


Sementara di Solo, seorang pegawai negeri bernama Raden Ahmad Kosasih menciptakan komik tentang perempuan super ala Jawa, Sri Asih.
 
Sri Asih menjadi proyek sukses pengimitasian Wonder Woman, tokoh superhero dari komik Amerika Serikat. Kosasih sengaja membuat kemiripan sosoknya, namun ada cita rasa lokal dalam plot dan alur cerita. Dalam tempo singkat, Sri Asih menjadi bacaan yang merebut hati masyarakat. Meski begitu, banyak juga yang mengkritik karena dianggap kebarat-baratan. Tentu terkait dinamika politik masa itu.
 
Tak surut karena kritik, Kosasih pun membangun rasa baru dalam komik Indonesia. Berpatron pada budaya lokal, cerita wayang Sunda dan Jawa menjadi tema-tema prioritasnya. Sebut saja Siti Gahara dan Mahabharata yang laris manis kala itu. Tak hanya di tanah Jawa, karya Kosasih mampu menciptakan pasar, bahkan menembus pembaca nasional dari Timur hingga Barat. Satu judul bisa dicetak 30 ribu eksemplar.


Menurut kurator yang juga kritikus komik Indonesia, Hikmat Darmawan, kesuksesan R.A. Kosasih menjadi tonggak penting perjalanan komik Indonesia. Sejak 1953, Sri Asih hingga Mahabharata menjadi buku komik yang laris dan menjadi model bagi industri komik masa itu. Komik turut menopang industri penerbitan Indonesia.
 
Masyarakat komik di Indonesia pun menganggap R.A. Kosasih adalah Bapak Industri Komik Indonesia. Dari tangannya lahir industri komik yang sesungguhnya, memiliki infrastruktur dan model bisnis.
 
"Semua dilakukan sendiri oleh Kosasih, mulai dari riset, menulis, gambar, satu komik bisa ratusan halaman. Sangat industrius. Format produknya secara fisik sangat tegas, terbit 64 halaman, hitam putih, ukuran kira-kira setengah majalah," ujar Hikmat saat berbincang dengan medcom.id di ruang kerjanya, kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Rabu (5/10/2016).
 
Cukong
 
Kesuksesan Kosasih merangsang lahirnya banyak komikus di rentang 1960 hingga 1970-an. Bahkan, banyak yang melampaui popularitasnya. Sebut saja Taguan Hardjo, Djas, dan Zam Nuldyn, tiga komikus berpengaruh di tanah Sumatera. Belum lagi Ganes Thiar Santosa (Ganes Th.) yang mampu banjiri industri komik dengan genre silatnya, terlebih pasca meledaknya Si Buta Dari Gua Hantu pada 1967.


Karya komikus lokal berhasil merebut pasar utama komik Indonesia, yang kala itu sirkulasinya bertumpu pada kios-kios jual-beli, penyewaan dan tempat membaca umum, yang akrab disebut Taman Bacaan. Permintaan komik lokal tinggi, Taman Bacaan pun menjamur.
 
Selama dua dekade, sejak 1950-an, komik impor nyaris tidak berkutik, baik Eropa, Amerika Serikat, Jepang dan Tiongkok. "Komik Indonesia saat itu adalah tuan rumah di negeri sendiri," ujar Hikmat.
 
Pada masa ini agensi penerbit komik ramai bermunculan, atau lebih tepatnya cukong terhadap penerbitan komik Indonesia. Kawasan Senen, Jakarta Pusat menjadi pusat kegiatannya. Komikus datangi cukong, menawarkan naskah yang sudah jadi, lantas transaksi di tempat. "Industri cash and carry. Sementara tarif per halaman tergantung pada tingkat kebintangan komikusnya," kata Hikmat.
 
Komikus menjadi bintang remaja saat itu. Bahkan ada istilah big ten atau big five, yang terbentuk oleh pasar itu sendiri. Pada akhir 1960-an hingga 1970-an, komik silat dan roman laris manis di Taman Bacaan, banyak dicari. Bintangnya, di antaranya adalah Ganes, Jan Mintaraga (komikus genre silat) dan Zaldi, masternya komik roman.
 
"Bayangkan, mereka bisa sampai diundang ke sekolah-sekolah, Zaldy dikagumi remaja-remaja putri, seperti berjumpa penyanyi. Saking topnya, komikus masa itu sejahtera, bisa beli rumah dan mobil," ucap Hikmat.
 
Sayangnya masa kegemilangan ini meluruh seiring berubahnya infrastruktur industri komik pada 1980-an, yang ditandai munculnya jaringan toko buku yang membangun kekuatan distribusi (chain-store). Perlahan namun pasti, distribusi bertumpu pada toko-toko baru nan besar itu. Taman Bacaan mulai ditinggalkan, bahkan banyak berguguran.
 
Seiring tumbuh dan berkembangnya toko buku besar, komik Eropa seperti Tintin berada di atas angin. Larisnya Tintin diikuti standarisasi baru dalam penjualan komik di toko, berwarna dan baik untuk anak-anak.
 
"Terdapat kerancuan umum, komik dimasukkan sebagai rak bacaan anak. Padahal masterpiece kita bertumpu pada komik dewasa. Komik lokal banyak dianggap sebagai bacaan buruk. Sehingga harus ada seleksi, harus jadi bacaan anak yang baik," kata Hikmat.
 
Meski begitu bukan berarti tidak dicoba. Salah satunya seri kepahlawan karya Delsy Syamsumar, tampil seperti komik eropa yang berwarna, dengan teknik cat minyak. Namun, sulit seproduktif sebelumnya, karena semua dikerjakan sendiri.
 
Dengan begitu buyarlah pasar komik Indonesia, komikus tidak siap memasuki infrastruktur baru. Sebaliknya, infrastruktur baru ini menjadi pintu masuk bagi komik impor kalahkan dominasi komik lokal.
 
Kondisi ini mendorong penerbit komik untuk membeli lisensi komik luar negeri dan menerjemahkannya. Bahkan, pada 1988 komik terjemahan asal Jepang meledak di pasar. Toko buku pun menemukan best seller-nya yang baru, seperti Candy-Candy, Doraemon, Kungfu Boy, dll.
 
Hal ini diakui Elex Media Komputindo, penerbit yang dikenal produktif menerbitkan komik-komik Jepang sejak pertengahan 1980-an. "Ya, kalau penerbit sudah tentu bicara pasar, Hingga kini saja selera (pasar) masih ke Jepang," kata Andhika, staf promosi Elex Media Komputindo, saat kami temui di Gedung Gramedia, Palmerah, Jakarta, Rabu (5/10/2016).
 
Baik Hikmat maupun Andhika mengakui, penerbit sudah tentu diuntungkan dengan membeli lisensi komik Jepang, ceritanya panjang, bahkan sudah siap beberapa edisi ke depan. "Bisa diterbitkan setiap bulan. Kalau komikus lokal setelah produksi satu terbitan, yang berikutnya bisa tiga sampai enam bulan lagi," kata Hikmat.


Banting setir
 
Dengan dominasi komik terjemahan di pasar Indonesia, ditambah enggannya penerbit menawar karya lokal, komikus Indonesia pun kepayahan. Tidak sedikit yang beralih alias banting stir ke industri lain di luar komik. Menurut Hikmat, tidak ada data pasti mengenai penurunan jumlah komikus, tapi yang jelas produksi komik menurun. Banyak komikus yang tertampung di media massa sebagai kartunis, ilustrator hingga periklanan sejak pertengahan 1990-an.
 
"Bahkan pada tahun 2000-an, banyak yang awalnya komikus, lantas jadi orang iklan, kemudian ngomik hanya iseng. Bagi kebanyakan komikus, ngomik bukan pekerjaan utama, bahkan dia subsidi," kata Hikmat sambil terbahak.


Sementara komikus yang masih konsisten di komik, lebih banyak yang menerima proyek dari komik-komik luar negeri dibanding membuat komik sendiri. "Banyak yang mendulang uang di Eropa, Amerika dan Jepang. Misalnya di DC atau Marvel, bayarannya per halaman mencapai 200 dolar," ujarnya.
 
Meski begitu tetap ada komikus yang bertahan di arus utama pasar, seperti Benny Rachmadi dan Muhammad Misrad dengan karya kolaborasinya Benny & Mice. Berangkat dari komik strip kritik sosial di sebuah surat kabar, Benny & Mice mulai dikenal khalayak hingga akhirnya terbit sebagai komik buku.


"Ini fenomena, Benny & Mice dobrak pasar. Sejak pertama muncul dengan judul Lagak Jakarta, terus menjadi Best Seller," ucap Hikmat.
 
Diakui Hikmat, secara individual komikus lokal mampu bersaing, tekniknya bagus bahkan diakui dunia. Produksi komiknya sendiri, seperti Benny & Mice, laris di toko buku. "Sayangnya ini individu, bukan industrinya yang bisa bersaing," kata Hikmat.
 
Independen
 
Keterpurukan industri komik lokal munculkan semangat melawan hegemoni komik-komik dari luar Indonesia. Komikus generasi 90-an hingga 2000-an menyatukan diri, berkomunitas dan berkarya di luar arus utama pasar (indie/independen).
 
Foto kopi (1990an) maupun digital printing (2000-an) menjadi teknologi yang digunakan dalam pemroduksian komik indie ini. Distribusinya mengandalkan pasar komunitas dan kegiatan-kegiatan seperti pameran dan festival. Metodenya, bisa penjualan langsung atau pertukaran (barter) antarkomikus.
 
Bahkan, tak jarang ada komikus yang menghalalkan karyanya untuk diperbanyak dan disebarluaskan, dengan moto 'copyleft', lawan dari copyright atau hak cipta. Tentunya tidak untuk tujuan komersil.
 
Salah seorang komikus yang muncul dari arus bawah ini adalah Faza Meonk, yang dikenal di kalangan indie dengan karya fenomenalnya Si Juki. Faza mengakui bahwa awalnya ia pesimis dengan industri komik Indonesia. "Tadinya saya pesimis lho dengan komik Indonesia. Masa depannya nggak ada nih, jadi animator saja lah, duitnya lebih ada," ucap Faza saat berbincang dengan medcom.id, Rabu (5/10/2016).
 
Pada 2010, Faza pun iseng-iseng membuat komik dan mempublikasikannya di media sosial Facebook. Tanpa perencanaan serius, komik itu viral hingga memiliki ribuan pengikut.
 
Melihat potensi dan peluang besar itu, pada 2011 akhirnya Faza aktif berkomik dan lahirkan karakter Si Juki. Faza membuat Si Juki hidup, dapat berinteraksi di media sosial hingga akhirnya menjadi komik keduanya yang viral. Tak ayal Si Juki pun didekati penerbit untuk diterbitkan di arus utama pasar komik. Hasilnya, Best Seller.
 
"Juki, orang ramai bicara konten IP (Intelectual Property/HAKI), menciptakan karakter, semesta, konsep, kemudian jadi industri. Apakah ini masa depan industri kita? Saya rasa belum. Memang ada yg sukses, tapi personal," kata Hikmat. Menurutnya, banyak percobaan lain yang patut dicatat untuk menemukan model bisnis yang kuat, berhasil, sehingga bisa diduplikasi oleh komikus lain.
 
"Seperti di masa awal, model bisnis zaman R.A. Kosasih kan diduplikasi, bahkan sampai ke format fisiknya. Begitu pula Ganesh Th, muncul dan diduplikasi. Itulah industri, satu model bisnis berhasil kemudian bisa diulang, dan industrinya tumbuh," kata Hikmat.






 Copyright stekom.ac.id 2018 All Right Reserved