Homo Semioticus

Alex Sobur

Manusia adalah homo semioticus, kata van Zoest (1993). Seorang mahasiswa komunikasi, saat berangkat ke kampus untuk mengikuti ujian, sempat berpikir, “kalau kutemui tiga ekor kucing hitam, aku lulus”; seorang pemuda yang tengah dimabuk asmara coba melepas helai-helai bunga sembari bergumam, “dia mencintaiku? ya ya yaaa..”; seorang yang selalu diliputi keraguan yang kemudian melempar uang untuk mengambil keputusan, mereka semua berupaya merebut sebuah tanda dari kekuasaan yang lebih tinggi. Dan, lebih lanjut van Zoest, jika kekuasaan yang lebih tinggi itu berdiam diri, tidak memberikan tanda, maka mereka sendiri akan memproklamasikan sesuatu, apa saja sebagai tanda karena ini pun mampu dilakukan manusia (van Zoest, 1993).

Susahnya, meski dalam semiotika manusia disebut sebagai homo semioticus, namun, sejak Erns Cassirer dan Susanne Langer dalam kepustakaan filsafat, manusia kerap pula disebut sebagai animal simbolicum (Noerhadi, 2000). Maka itu, jika disandingkan, kedua pengertian atau sebutan ini tentu saja memerlukan penjelasan tentang persamaan dan perbedaannya.

Jelas bahwa perbedaan “animal” dan “homo” sudah memunculkan problematika, terutama mereka yang tidak akrab dengan pemikiran ilmu-ilmu alam, apalagi teori evolusi menganggap sebutan “animal” untuk manusia itu dianggap penghinaan. Pemikiran Erns Cassirer memang dilatarbelakangi oleh pemikiran biologi dan psikologi hewan, sehingga bagi Cassirer, fungsi dan kebutuhan simbolisasi manusia dijabarkan sebagai ciri khas manusia dan sekaligus ciri keagungannya (Noerhadi 2000).

Dalam Semiotics in the United States, Thomas A. Sebeok menyebutkan bahwa gagasan Cassirer didasari oleh “prinsip-prinsip biosemiotik Von Uexkull" yang diterapkan pada manusia, sehingga dengan memperoleh, sistem simbolis, ia memperoleh sebutan baru, animal simbolicum. Ia pun terkesan oleh gagasan Langer, namun menganggap aneh bahwa seorang filsuf, seperti Maritain, malahan kurang dikenal dalam sumbangannya untuk teori semiotika (Sebeok, 1991).

Doede Nauta secara gamblang menjelaskan kerangka kerja untuk pembicaraan ihwal perbedaan konsep dan ukuran-ukuran informasi. Nauta menganggap semiotika (bersama-sama dengan cybernetics dan teori sistem) sebagai disiplin yang paling tepat untuk merealisasikan tujuan ini. Ia melihat semiotika sebagai satu jenis fisiologi pemindahan informasi: “Peralatan teoretik semiotika akan ditunjukkan guna melengkapi kerangka kerja yang pating penting bagi klasifikasi informasi dalam semua keanekaragamannya dan untuk memahami gejala yang relevan” (Nauta, 1972; Segers, 2000). Nautal menganggap sistem konseptual signalsign-symbol di satu pihak, dan syntactics-semantics-pragmatics di lain pihak, sebagai hal yang sangat penting bagi proses informasi; karena kedua sistem ini berasal dari semiotika. Mulanya Nauta mencoba suatu pengkajian yang ekstensif pada semiotika lalu berlanjut pada penyelidikan teori informasi.

 

 Copyright stekom.ac.id 2018 All Right Reserved