ICONOGRAFI DAN ICONOLOGI: PENGENALAN ATAS STUDI ART RENAISSANCE Dalam bukunya Meaning in The Visual Arts (1955), diungkapkan bahwa untuk memahami dan mengkaji makna suatu karya seni, tidak terlepas dari tiga tahapan atau tingkatan yang harus dikaji. Tahap yang pertama adalah deskripsi pra-ikonogra? (pre iconographical description), tahap yang kedua adalah analisis ikonogra?s (icono-graphical analysis), dan tahap yang ketiga adalah interpretasi ikonologis (iconological interpretation) (1955: 26-40). Ketiga tahapan tersebut memiliki pertautan yang bersifat prerequisite atau merupakan prasyarat dari tahapan satu terhadap tahapan selanjutnya. Erwin Panofsky menuturkan bahwa “iconogaphy is that branch of the history of art which concerns itself with the subject matter or meaning of works of art, as opposed to their form. The identification of such images, stories, and allegories is the domain of what is normally referred to as iconography. The discovery and interpretation of these “symbolical” values (which are often unknown to the artist himself and may even emphatically differ from what he consciously intended to express) is the object of what we may call “iconology” as opposed to “iconography”. (Panofsky, 1955: 29 & 31) Ikonografi adalah cabang sejarah seni tentang subject matter atau makna karya seni, sebagai perlawanan bentuk-bentuk karya seni yang mencoba untuk memaknai perbedaan antara subject matter atau makna pada satu orang dan orang lain. Pemaknaan dilakukan pada susunan yang membentuk pola secara umum atas warna, garis dan volume yang mengangkat dunia visual. Susunan yang dimaksud adalah sebuah objek ksatria (gentleman) dan detail perubahan sebagai sebuah peristiwa (hat-lifting). Panofsky melewati batasan-batasan persepsi formal yang natural dan memasukkan ruang lingkup subject matter atau makna yaitu: 1. Makna merupakan dasar dan sebagai pemahaman alami yang mudah dan kita dapat menyebutnya makna faktual (makna sesungguhnya). 2. Makna memahami dengan cara yang mudah untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk visual yang jelas dengan objek-objek yang jelas yang diketahui dari pengalaman praktis. 3. Mengidentifikasi perubahan di dalam hubungan aksi nyata atau melalui peristiwa. Panofsky mengidentifikasi objek dan peristiwa menjadi produksi secara alami sebuah reaksi nyata. Nuansa psikologis menanamkan perkenalan gestur melalui makna yang disebut sebagai ekspresional yang memahami tidak dengan identifikasi sederhana tetapi melalui “empati”. Untuk memahami ini, dibutuhkan sensitivitas yang jelas dan masih menjadi bagian dari pengalaman praktis yang akrab dengan objek dan peristiwa. Makna faktual dan ekspresional mungkin dapat diklasifikasikan bersama dan kedua hal tersebut mengangkat tingkatan makna utama atau makna alami. Panofsky tidak hanya akrab dengan dunia praktis objek dan peristiwa, tetapi juga dengan dunia praktis kebiasaan dan tradisi kebudayaan yang lebih luas memberikan kekhasan kepada masyarakat tertentu. Konotasi ekspresional yang mengiringi aksi manusia yang membolehkan atau tidak menjadi pengakuan terhadap masyarakat tertentu. Panofsky melakukan interpretasi dalam mengangkat kehormatan sebagai sebuah sambutan kesopanan, memperkenalkan makna aksi yang mungkin saja dapat dikatakan yang kedua (konvensional); aksi ini berbeda dari sikap utama atau alami dapat dimengerti sebagai pengganti menjadi pantas dan menanamkan secara sadar terhadap aksi praktis yang disampaikan. Selain mengangkat peristiwa alami di dalam ruang dan waktu, mengindikasi selera atau rasa secara alami dan menyampaikan sambutan konvensional, aksi perkenalan dapat mengungkapkan pengalaman pengamat yang semuanya berupaya untuk memoles “personalitas”. Dalam hal ini, personalitas adalah kondisi manusia pada abad ke-20 dilatarbelakangi nasional, sosial, dan pendidikan dengan melihat kembali sejarah kehidupan, serta hal-hal yang terjadi di sekitar mereka. Tetapi, personalitas juga membedakan dengan cara individu dalam melihat benda dan member aksi terhadap dunia yang jika dirasionalkan akan dapat dikatakan sebagai sebuah filosofi. Iconolgy, then, is a method of interpretation which arises from synthetis rather than analysis. And as the correct identification of motifs is the prerequisite of their correct iconographical analysis, so is the correct analysis of images, stories, and allegories the prerequisite of their correct iconological interpretation. (Panofsky, 1955: 32) Iconographical analysis, dealing with images, stories, and allegories instead of with motifs, presupposes, of course, much more than that familiarity with objects and events which we acquire by pratical experience. (Panofsky, 1955: 35) Ikonologi mengacu pada metode menginterpretasi sintesis dan mengidentifikasi objek (image), cerita, dan alegori, sedangkan analisis ikonografi objek merupakan hasil dari pengalaman. Erwin Panofsky membagi tiga tahapan analisis ikonografis yaitu: 1) Deskripsi Pra-Ikonografis: Batasan Dunia Motif (Tema) Tahap awal adalah tahap praikonografi yang meneliti aspek visual pada karya seni. Motif artistik atau bentuk visual akan mengungkap makna primer yang terbentuk dari makna faktual dan ekspresional. Tahap meneliti makna faktual adalah mengidentifi kasi bentuk visual yang tampak pada objek maupun perubahannya pada adegan dan momen objeknya. Penelitian itu dilakukan dengan mengamati dan membaca unsur-unsur visual yang tampak seperti garis, warna, bentuk, material, teknik, dan objek pokok maupun pendukungnya seperti manusia, binatang, tumbuhan, atau pendukung lainnya. Adapun pada tahap meneliti makna ekspresional dilakukan dengan mengungkap empati dari pengamatan peneliti pada kebiasaan dan rasa familiair dari objek dan adegan objeknya. Mengamati hubungan antara objek dan bentuk-bentuk pendukung dengan adegan peristiwanya, dapat mengungkap kualitas ekspresional karakter objek dalam karya seni itu (Panofsky, 1955:33-34). Objek dan peristiwa yang direpresentasi melalui garis, warna dan volume mengangkat dunia motif (tema) untuk bisa diidentifikasi pada dasar pengalaman praktis. Tiap orang dapat mengenali bentuk dan perilaku manusia, hewan, tumbuhan dan dapat menyebut wajah marah dari seorang yang periang. Bidang representasi dihubungkan dengan permasalahan khas yang diatur berdampingan dengan fakta objek, peristiwa dan ekspresi yang digambarkan pada karya seni yang mungkin tidak dapat dikenali karena ketidakmampuan atau perencanaan terlebih dahulu dari senimannya. Pada prinsipnya, tidak mungkin untuk mencapai deskripsi pra-ikonografis yang tepat atau identifikasi permasalahan utama melalui penggunaan pengalaman praktis yang pandang bulu terhadap karya seni. Pengalaman praktis sangat diperlukan sebagai materi atau bahan untuk deskripsi pra-ikonografis, tetapi hal ini tidak dijamin bisa menghasilkan ketepatan. Deskripsi pra-ikonografis dapat dikatakan sebagai what we see, artinya identifikasi motif (tema) pada dasar pengalaman praktis yang murni dan sederhana berdasarkan objek dan peristiwa ditunjukkan melalui bentuk-bentuk di bawah pengaruh kondisi historis, sehingga subjek pada karya berdasarkan pengalaman praktis tehadap prinsip yang dapat diperbaiki dan dapat dikatakan sebagai gaya historis. Tahap deskripsi praikonografi secara keseluruhan akan dikoreksi melalui prinsip korektif kondisi sejarah seni yang bervariasi. Hal ini disebut sejarah gaya atau sytle yang sinkron dengan objek (Panofsky, 1955: 40).
2) Analisis Ikonografis Tahap kedua, yaitu analisis ikonografi untuk mengidentifi kasi makna sekunder. Proses ini menghubungkan antara penelitian sebelumnya yaitu bentuk visual dan ekspresinya dengan tema dan konsep. Untuk melihat hubungan itu diperlukan pengetahuan dan pengamatan pada kebiasaan pengalaman praktis sehari-hari. Di samping itu juga diperlukan melihat kebiasaan tema dan konsep itu dari berbagai imaji karya seni lain, sumber literer, dan berbagai alegori (Panofsky, 1955:35). Untuk mempertajam analisis ikonografi ini, diperlukan kerangka konfi rmasi dengan prinsip korektif interpretasi sejarah tipe. Sejarah tipe adalah kondisi-kondisi sejarah yang mempengaruhi tentang terbentuknya suatu tema atau konsep yang diekspresikan dalam objek-objek dan peristiwa spesifik dan berlaku pada suatu masa dan wilayah (Panofsky, 1955:40). Tahap ini merupakan tahap untuk mengidentifikasi pembacaan aspek tekstual (motif artistik) dengan melihat hubungan antara motif sebuah karya seni dengan tema dan konsep yang dimanifestasikan dalam bentuk gambar, sastra, alegori atau perlambangan yang ada pada karya. Tahap analisis ini juga membutuhkan rasa familiar dengan objek dan peristiwa yang divisualkan pada karya berdasarkan pengalaman praktis penulis sehingga dapat dianalisis tema dan konsep yang tersirat. Hal ini dapat diperoleh dari sumber-sumber literal. Selanjutnya, tahap ini akan dikoreksi dengan prinsip korektif sejarah tipe Tahap analisis ikonografis terletak pada gambar, cerita, dan kiasan daripada motif (tema), tentu saja mensaratkan lebih banyak keakraban dengan objek serta peristiwa dengan pengalaman praktis. Analisis ini merupakan kedekatan pengalaman praktis dengan tema atau konsep spesifik sebagai kelanjutan sumber daya literasi yang dibolehkan dengan pembacaan penuh tujuan atau tradisi lisan. Makna ikonografis pada gambar harus memiliki keakraban antara seniman dengan konten pada karya, ketika makna ini hadir sebagai representasi tema selain cerita atau adegan dari sejarah dan mitologi yang rata-rata diketahui oleh “orang-orang yang berpendidikan” di masyarakat. Seniman atau pengkaji harus mendekatkan diri dengan penulis yang merepresentasikan apa yang telah dibaca atau diketahui oleh orang lain. Tema dan konsep disambungkan dengan sumber literasi dan materi cukup untuk analisis ikonografis, tetapi tidak ada jaminan bahwa hal tersebut benar. Hal ini hanyalah kemungkinan untuk memberikan analisis ikonografis yang benar dengan menyediakan pengetahuan literasi yang tidak pandang bulu terhadap motif (tema). Selain itu, memberikan deskripsi pra-ikonografis dengan benar melalui pengalaman praktis yang tidak pandang bulu.
3) Interpretasi Ikonologis Tahap ke tiga adalah tahap interpretasi ikonologis. Tahapan ini paling esensial untuk mengetahui makna intrinsic atau isi dari sebuah karya seni. Setelah dilakukan penelitian tahap deskripsi praikonografi dan analisis ikonografi , maka untuk mengetahui makna intrinsik atau memahami simbol karya seni, dibutuhkan kemampuan mental yang disebut dengan intuisi sintesis. Intuisi sintesis menyangkut tendensi esensial pemikiran psikologi personal dan weltanschauung (pandangan hidup) pencipta karya. (Panofsky, 1955:41). Pada akhirnya membutuhkan yang lebih dari sekedar kedekatan dengan tema atau konsep yang spesifik telah membawa sumber literasi. Prinsip dasar yang mendasari pilihan dan representasi motif (tema) seperti halnya produksi dan interpretasi gambar, cerita dan kiasan dimana memberikan makna terhadap penyusunan formal dan prosedur teknis dalam berkarya. Manusia tidak bisa berharap menemukan sebuah teks individual yang akan menyerang prinsip-prinsip dasar. Untuk memegang prinsip tersebut diperlukan kecakapan (faculty) mental yang dapat dibandingkan terhadap diagnosa —sebuah kecakapan yang tidak bisa dideskripsikan lebih baik dari menghilangkan terminologi “intuisi sintesis” dan mungkin lebih baik dibangun pada bakat orang awam daripada sarjana terpelajar. Intuisi sintesis menyangkut tendensi esensial pemikiran psikologi personal dan weltanschauung (pandangan hidup) seniman. Tahap ini dibutuhkan prinsip korektif interpretasi sejarah kebudayaan yang membentuk simbol-simbol di dalam karya seni untuk mencapai ketajaman interpretasi. Ini dilakukan melalui simtom yang ada di sekitar objek maupun seniman dengan merujuk pada pandangan hidup masyarakat penyangganya (Panofsky, 1955: 41). Subjektivitas dan irasional yang bersumber pada interpretasi (bagi setiap pendekatan intuitif akan bisa dikondisikan melalui psikologi interpretator dan “Weltanschauung”), hal yang lebih penting dari aplikasi keduanya adalah melakukan koreksi dan terbukti sangat diperlukan dimana hanya analisis ikonografis dan deskripsi pra-ikonografis yang bersangkutan. Ketika pengalaman praktis dan pengetahuan terhadap sumber literasi bisa menyesatkan apabila ketidakpandangbuluan digunakan di karya seni, bagaimana banyak bahaya yang bisa dipercayai oleh intuisi murni dan sederhana. Pengalaman praktis dapat dikoreksi melalui wawasan jenis kondisi historis, objek, dan peristiwa yang diekspresikan berupa : a. Bentuk (sejarah gaya). b. Pengetahuan sumber literasi yang telah mengoreksi dengan wawasan melalui cara macam kondisi historis. c. Tema spesifik dan konsep yang diekspresikan melalui objek dan peristiwa (jenis sejarah). d. Intuisi sintetis menjadi dikoreksi dengan wawasan melalui cara di macam kondisi historis, generalisasi dan tendensi esensial pikiran manusia yang diekspresikan melalui tema spesifik dan konsep. Tahap ikonologi membutuhkan prinsip korektif sejarah gejala kultural di bawah kondisi sejarah yang bervariasi, tendensi umum dan esensial dari pikiran manusia yang dinyatakan melalui tema dan konsep (Panofsky, 1995: 41). Maka diperlukan ditinjauan berbagai simtom yang ada di sekitar objek maupun penciptaannya, yang merujuk pada psikologis dan pandangan hidup masyarakat penyangganya.
Tabel 1. Sinopsis Analisis Ikonografis
Untuk memperoleh ketajaman analisis, Panofsky juga memberikan kerangka konfirmasi yang bisa menjadi prinsip korektif dari setiap tahapan analisis. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Alat Interpretasi dan Prinsip Korektif dari Interpretasi
Melalui kajian ikonografi ikonologi ini didapatkan bahwa seniman dalam mengekspresikan konsep pemikirannya dalam karya seni khususnya seni rupa memang tidak terlepas dari konteks zaman yang sedang berlangsung pada masanya. Namun hal berbeda masih terdapat pada beberapa seniman yang justru menentang arus zaman yang berlangsung di tengah keberadaan orisinalitas karyanya sehingga menimbulkan suatu muatan simbolik yang khas dan berbeda secara spesifik. Selain kajian ikonografi dan ikonologi dapat mengungkapkan kecenderungan makna yang tersebunyi di balik kehadiran komponen bentuk karya seni juga dapat memperlihatkan konteks sejarah tipe dan sejarah gaya yang mempengaruhi proses penciptaan seorang seniman dalam berkarya. Sumber Pustaka 1) Panofsky, Erwin 1955 Meaning of The Visual Arts. New York: Doubleday Anchor Books. 2) M. Agus Burhan 2005 “Lukisan Ivan Sagita “Makasih Kollwitz” (2005) dalam Sejarah Seni Lukis Modern Indonesia: Tinjauan Ikonografi dan Ikonologi, Panggung Vol. 25 No. 1, Maret 2015.
|