“Kita tidak bisa berdoa untuk individualitas kita yang unik dan mengaminkan setiap harapan bahwa kesuksesan yang menanti kita di masa depan merupakan menjadi seperti stereotype yang masyarakat pahami sekarang.” /sedikit kalimat pembuka/

Seringkali kita diberi “training motivasi” yang berisi dorongan akan keyakinan bahwa setiap dari kita adalah unik dan selalu punya kesempatan untuk menjadi sukses.

Namun sukses semacam apa? Punya mobil hasil kredit dan rumah besar kpr yang tak lunas-lunas? Jadi pejabat yang setiap hari memakai jas, tapi kurang waktu untuk keluarga? Jadi orang terkenal dan pada akhirnya lupa diri seakan diri paling hebat?

Standar sukses yang dibuat jelas-jelas perlu menjadi kesadaran terlebih dulu. Seperti apa sukses yang dimaksud? Apa ketika kita diciptakan secara unik, kesuksesan kita harus ditentukan sama untuk setiap orang? Ironis bukan? Jika dari awal dinyatakan bahwa kita semua adalah pribadi yang unik, harusnya kesuksesan kita juga adalah keunikan masing-masing. Benar bukan?

Oleh karena itu, konsep berpikir kita akan individualitas inilah yang perlu diralat. Sebenarnya, hak akan individualitas ini milik siapa? Sesungguhnya yang memiliki individualitas yang hakiki hanyalah Tuhan. Karena dengan segala Ke-Esaannya, Tuhan menjadi entitas atau dzat yang tidak bergantung dan tidak tertaut ke segala hal lainnya.

Tuhan itu Satu. Satu yang tidak terdiri dari setengah ditambah setengah. Satu yang tidak terdiri dari sepertiga ditambah spertiga. Satu yang tidak terdiri dari log 10. Satu yang tidak terdiri dari dua dikurangi tiga. Satunya Tuhan itu ya Satu. Titik. Oleh karena itu, Tuhan menyandang predikat individualitas yang absolut, karena hanya Tuhanlah yang Unik. Ini “punch line”-nya.

Manusia sudah jelas diciptakan sama. Diciptakan dari tanah. Dilahirkan dari rahim wanita. Harus memakan makanan hasil tanah. Perlu tidur di malam hari dan tidak bisa hidup lebih dari tiga hari tanpa meminum air. Manusia itu secara natural sama. Hanya saja, Tuhan menciptakan manusia dengan potensi yang berbeda-beda dan memang dinyatakan dalam al quran.

“Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing”. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.”
-Al Isra 17: 84

Dalam suatu majelis, Nouman Ali Khan pernah menyebutkan bahwa “syakilah” yang dimaksud dalam ayat ini juga bisa berarti karakter atau keunikan masing-masing orang. Kekuatan keunikan ini yang menjadikan setiap orang berbeda dan bekerja sesuai koridor dan kadar yang telah Allah tambatkan kepadanya. Ada yang cocok menjadi guru. Ada yang cocok berjualan. Ada yang pandai menjadi olahragawan, insinyur, pekerja sosial, tentara, politikus, penulis, ilmuwan, ahli sejarah, apapun. Secara harfiah, apapun.

Segala keunikan tadi sejatinya juga berdampak pada parameter kesuksesan yang tidak sama untuk setiap orangnya. Sangat jelas. Kamu tidak bisa menentukan parameter keberhasilan yang sama untuk seorang komikus dengan seorang guru agama. Jelas berbeda dan tidak akan pernah mungkin sama.

Oleh karenanya, pada dasarnya individualitas tadi merupakan sedikit esensi penciptaan yang Allah “tiupkan” kepada kita. Harapannya, kita bisa membaca “syakilah” kita dan berjuang sesuai koridor dan kadar kita masing-masing.

Albert Einstein once said:
“Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid.”

Sekali lagi, mari kita pahami bahwa hakikat individualitas hanyalah bisa disandang oleh Allah swt sebagai entitas atau dzat yang Maha Esa. Yang tidak ada yang dapat menyaingi-Nya. Sejatinya, jika dibandingkan dengan Tuhan, Tuhan berada di tempat yang sangat tinggi sementara kita lebih rendah dari bawah kuburan, bahkan lebih jauh dari itu.

Jika pada akhirnya kita menganggap diri kita unik, kita perlu percaya bahwa ada kepercayaan Tuhan di sana dan menjadi tugas kita untuk menggunakan itu untuk kebermanfaatan umat manusia.



Sisi menarik dari desain terletak saat desain itu diawali.Layaknya seorang shef dalam menyiapkan sajian istimewanya, desain pun demikian, bahan baku dan bumbu yang sesuai akan menjadi unsur utamanya. Di ujung sebuah proses desain akan selalu muncul pertanyaan, akankah desain kita nanti bekerja? Artinya apabila sajian seorangshef mampu menghadirkan kepuasan lidah penikmatnya, maka desain pun ditujukan untuk kepuasan klien karena terpenuhi harapannya.

Indikasi yang sederhana dari kinerja sebuah desain adalah respon yang dilayangkan dari desain yang kita paparkan ke target audien.Respon audien inilah yang akan kita jadikan tolok ukur pertama apakah desain kita bekerja.Seorang desainer membutuhkan waktu untuk menunggu informasi tersebut.Hasilnya pun masih sangat predictable. Maka sebuah tim desain atau desainer yang bekerja sendiri harus pula “mendesain” respon target audiens yang diharapkan akan terjadi setelah desain di“upload” ke media. Cara inilah yang seharusnya dimiliki oleh seorang desainer sebagai “direction”desainnya agar selaras dengan goal-nya.

Kartu nama Pak Taufiq, seorang supir panggilan.

Apa yang diharpakan dari seorang desainer selain memberikan nilai tambah terhadap bisnis pelanggannya?Kesuksesan sebuah bisnis salah satunya terletak pada desain yang baik.Seorang desainer tentu bukanlah seorang tata letak dan hanya mempercantik tampilan desain.Namun seorang desainer merupakan manusiamulti tasking yang harus pula membubuhkan nilai entrepreneurship pada disainnya sehinggamampu bekerja maksimal. Tom Waston, founder IBM mengatakan bahwa good design is good business. Ya, desain yang baik akan membawa perubahan kepada bisnis yang lebih baik.

Lalu apakah desainer yang sukses hanya desainer yang berkesempatan mendesain untuk brand-brand keliber global dengan budget tak terhingga?Tentu jawabannya tidak. Karena justru harapan brand-brand kecil akan keberhasilan bisnisnya justru sangat besar.Dan bisa jadi dikarenakan oleh keberhasilan desain kita yang bekerja untuk mereka.




 Copyright stekom.ac.id 2018 All Right Reserved