John Hartley Objektifikasi dari pengetahuan-diri untuk tujuan komunikatif. Pada tingkatan individu, “citra” atau imaji seseorang dibuat oleh isyarat- isyarat dengan maksud agar orang lain mengerti mengenai penampilan diri. Hal ini tidak hanya meliputi atribut visual (penampilan dan pakaian seseorang) dan tindakan komunikasi yang disengaja (ucapan, interaksi dengan orang lain), tetapi juga karakteristik perilaku yang memproyeksikan citra melampaui kontrol diri (“sikap terburu-buru”, “percaya diri”, dsb). Pada tingkatan budaya, citra merupakan alienasi dari atribut personal untuk tujuan semiotis. “Citra” dari pelbagai kelompok di media, khususnya kelompok yang rentan atau terbuka untuk menjadi korban, sedang gencar dikaji. Hal ini karena adanya kekhawatiran bahwa citra diri yang teralienasi itu diproyeksikan kembali ke diri sebenarnya oleh media dengan efek material pada perilaku dan penghargaan diri. Citra media tentang perempuan, etnis minoritas, dan pelbagai macam kelompok terorganisasi seputar selera pinggiran, gaya hidup, subkultur, atau daerah telah dipelajari, seringkali oleh peneliti yang merepresentasikan kelompok yang dilukiskan tersebut. Contoh yang termasuk dalam “citra” ini adalah: perempuan yang diproyeksikan oleh Hollywood dan fesyen; kulit hitam, Aborigin, atau orang migran diproyeksikan dalam berita; gay dan lesbian dalam budaya populer; daerah seperti Irlandia Utara atau Palestina (untuk hal-hal seperti fotase tenang (adalah hal yang sangat jarang). Citra semacam itu diajarkan karena memiliki konsekuensi budaya dan politik, tidak hanya individual. Beberapa analisis terasa canggih, sebagai contoh Annette Kuhn dalam The Power of The Image (1990) berdasarkan pada teori sinema dan feminisme. Analisis lain lebih biasa, dipertarungkan secara hangat dalam media populer itu sendiri, termasuk di dalamnya oleh pembela organisasi dan aktivis. Istilah “citra” ditemukan secara menyolok dalam filsafat Barat sejak Plato menyatakan bahwa manusia tidak menerima kebenaran secara langsung, tetapi hanya dalam citra tidak langsung dan terdistorsi. Manusia tidak bisa melihat dirinya secara apa adanya, begitulah pendapat Plato. Pengetahuan diterima dalam bentuk yang terdistorsi dan tidak langsung seolah-olah citra tersebut diproyeksikan, seperti bayangan penari melompat-lompat fantastis di dinding gua dalam pantulan cahaya api unggun. Menurut Plato citra “bayangan dalam gua” atas realitas ada di tempat lain dan melampui pengalaman yang dapat diharapkan oleh manusia. Beberapa tahun berselang, sebuah pendapat mengambil alih pemikiran Barat bahwa “citra” merupakan kebalikan dari realitas, sejajar dengan ilusi. Pesimisme alami yang dialami oleh para intelektual yang menerapkan diet ketat selama era Kristen, ketika “citra” condong berasosiasi dengan “berhala” atau “badaniah” yakni dengan godaan dan rayuan jasmaniah yang harus dikalahkan oleh biarawan penulis kontemplatif. Pemikiran mengenai “citra” menjadi terfokus pada tampilan visual, jasmaniah, menggiurkan dan pada ekspresi kebencian akan semua itu (dan bagi perempuan yang tidak disadari tetapi secara literer menampilkan itu. Tradisi Barat bersikukuh bahwa hal yang paling badaniah dan jelas adalah “ilusif” sementara khayalan yang transenden, metafisik, dan tidak bisa diperoleh lagi, dilihat sebagai hal yang nyata. Kajian media dan komunikasi kontemporer, untuk tidak mengatakan apapun mengenai politik, menerima warisan mengenai kebingungan ini, melihat citra sebagai hal yang tidak nyata, ilusif, seduktif, dan terfeminisasi. Apapun yang mencurahkan waktu untuk memproduksi dan memelihara citra tersebut dalam cara profesional secara otomatis mencurigai bahwa citra tersebut “dipermak”. Tidak kurang fatal, citra saat ini terkunci hanya seputar persoalan visual: orang cemas dengan penampilan, bukan suara, sebagai contoh, dan jarang menikmati penampilan kelompok musik ini atau itu. Konsep mengenai citra menjadi bahan tetap sejarah seni dan kajian sinema. Hal ini merupakan kekhawatiran bagi kajian film dan televisi, atas penetapan citra sebagai fenomena visual yang mengabaikan hubungan kompleks yang saling mempengaruhi antara penglihatan, suara, dan sekuen yang dieksploitasi oleh layar media. Sebagai akibat, sebaliknya, analisis cerdas yang muncul telah diambil oleh orang yang secara klinis tidak tuli, akan tetapi secara budaya ia tuli. Selain perilaku peyoratif dari tradisi filsafat dan metafisik, industri citra saat ini sudah mapan, dari humas (PR) dan spesialis pemasaran, spin doctor dan pengumpul suara, hingga penasihat busana dan penata gaya. Tidak ada satu pun yang mampu bertahan lama di depan publik, apakah itu politisi, entertainer, atlet, atau bahkan filsuf dan uskup sekalipun, tanpa memperhatikan “citra” mereka.
Gambar : freepik.com |