Sosiolog seni terkadang tidak memiliki pendidikan artistik formal, sesuatu yang sering mereka kritik, dan 'teori' sering mendapat porsi buruk karena terlalu umum dan tidak dapat diterapkan atau tidak membantu untuk situasi praktis, artistik atau sebaliknya. Meskipun ada beberapa unsur kebenaran dalam kedua pernyataan ini. Sosiolog dan filsuf tidak memiliki kerangka kerja untuk memahami fungsi sosial dan budaya pada tingkat meta dan keinginan untuk menganalisis mekanisme tatanan sosial. Suka atau tidak suka, musik seni klasik barat (dan sebagian besar seni lainnya juga) bergantung pada semacam sistem untuk memungkinkan produksi dan keberlanjutan seni. Sistem itu yang sering disebut sebagai 'dunia seni' atau 'bidang', adalah fokus utama sebagian besar sosiolog seni - mengidentifikasi dan mendefinisikan 'dunia' ini dan hubungan yang ada di dalamnya. Sosiologi mencakup tidak hanya produksi dan distribusi barang artistik yang sebenarnya, tetapi juga proses bagaimana manusia mendefinisikan 'sistem', nilai-nilai estetika apa yang dipertimbangkan, mengapa mereka, dan bagaimana nilai ini ditindaklanjuti. Intinya, “bagaimana organisasi dunia seni rupa mengabdi pada seni untuk memenuhi fungsinya” (Maanen 2009). Pierre Bourdieu (1930-2002) adalah sosiolog seni paling terkenal dan berpengaruh di akhir abad kedua puluh dan karyanya berfokus terutama pada dinamika kekuasaan dalam suatu masyarakat, khususnya pada bentuk-bentuk kekuasaan budaya, sosial dan simbolis. Bourdieu memulai dengan sebuah kritik pada mistifikasi seni. Ia meminta untuk jangan terburu-buru meyakini hal-hal yang mistis di sekitaran karya seni. Pemikiran yang percaya bahwa ada hal-hal yang mistik dan tak terjelaskan di sekitaran karya seni, menurut Bourdieu, adalah hal yang "dikondisikan" oleh struktur sosial. Karena itu, ada dua hal yang pertama perlu dipertimbangkan sebelum membicarakan "mistifikasi seni" antara lain: struktur sosial dan sosio-historis yang mengondisikan seniman sebagai "pencipta kreatif" dan kecenderungan sang seniman untuk mewujudkan karya seni ciptaannya. Hal inilah yang kemudian menjadikan proses demistifikasi seni. Bourdieu merumuskan pendekatan yang sangat logis, rasional, serta ilmiah terhadap karya seni. Ia mulai menyusun sejumlah patokan untuk mendekati karya seni hingga ke dalam secara sosiologis. Namun, apa yang dilakukan Bourdieu tersebut justru membuktikan hipotesis awalnya tentang ketiadaan "aura mistis" terkait karya seni. Jadinya, ketika bertemu dengan suatu karya seni, bahkan yang terkesan mistis sekalipun, Bourdieu meminta untuk menghindari dulu pandangan tentang mistifikasi seni, serta apa saja yang bisa membuat kita cenderung memistifikasi seni. Semuanya akan bermuara pada satu kesimpulan, bahwa singularitas seniman, individualitas, aura mistis yang berkelindan di sekitar karya seni tersebut, dan sebagainya yang mengarah ke mistifikasi seni hanyalah sebuah ilusi. Semua kenyataan yang logis, rasional, sekaligus ilmiah akan nampak dari suatu karya, tanpa ada sedikitpun sentuhan "mistis". Maka kualitas karya bisa diukur dengan objektif, dan alasan kenapa karya seni tersebut ada juga akan terjawab dengan jelas tanpa bumbu-bumbu mistis. Pandangan Bourdieu dapat diidentifikasi pada Walter Benjamin (1936) yang tidak mengartikan hilangnya aura seni sebagai sesuatu yang buruk atau perlu disesali. Justru sebaliknya, ia merayakan itu karena dengan begitulah karya seni bisa diakses oleh masyarakat luas dan dari situ terjadi pensosialan atas pengalaman estetis. Demistifikasi benda seni justru memperlihatkan bahwa karya seni bukanlah hasil ritual artistik seorang seniman sublim yang sepenuhnya lain dari kerja ‘masyarakat awam’. Dengan kemungkinannya untuk direproduksi secara mekanis, terbuktilah bahwa kerja seorang seniman bisa disetarakan dengan kerja orang biasa—keduanya sama-sama bertumpu pada keahlian (skill) yang bisa dipelajari dan sama sekali tak ada mistiknya. Gambar : Lukisan "Nyai Roro Kidul" karya Basoeki Abdullah (1955) Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin-top:0cm; mso-para-margin-right:0cm; mso-para-margin-bottom:8.0pt; mso-para-margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} |