Saat masih SD, era tahun 90-an, saban hari sepulang sekolah saya selalu mampir ke kios peminjaman buku. Harga sewanya 250 rupiah/buku, sama dengan uang saku yang diberi oleh ibu setiap harinya. Maka demi membaca komik kesukaan, saya rela tidak jajan selama istirahat sekolah. Buku yang sering saya pinjam yaitu komik Detektif Conan, Kobo-Chan, Astro-Boy, dan sebagainya.



Bisnis sewa buku saat itu memang sedang menjamur. Di setiap kampung pasti ada saja kios peminjaman buku, mulai dari komik anak, majalah, dan novel. Maka melihat anak-anak menggenggam bacaan di tangan tidaklah asing, hal yang sangat jauh berbeda dengan era sekarang, ketika anak-anak lebih senang memandang layar televisi atau ponsel. 

Memang, saat itu komik menjadi hiburan bagi anak karena tidak banyak pilihan lain. Selain hari Minggu, hanya sedikit film kartun yang bisa ditonton di stasiun TV. Alhasil, tanpa disuruh pun anak bisa rajin baca dengan sendirinya.

Meski begitu, tak semua orang tua memperbolehkan anaknya membaca komik, karena khawatir akan kecanduan. Maka tak jarang mereka akan memarahi anaknya,"Sudah jangan baca komik terus, baca bukunya!"



Mereka menganggap komik bukan bagian dari buku bacaan. Saya termasuk beruntung memiliki orang tua yang selalu membiarkan anak-anaknya membaca komik kesukaan, meskipun beberapa komik dilarang, seperti Shinchan. Memang dasar bandel, saya sering menyelipkan komik di bawah kasur dan membacanya diam-diam di kamar atau selagi ayah dan ibu ke luar.

Dari komiklah hobi membaca saya bertambah. Naik ke kelas 2 SD saya sudah mampu menamatkan buku cerita setebal 80 hingga 100  halaman. Tidak seperti komik, buku cerita jenis tersebut biasanya tak dilengkapi gambar di setiap halamannya, hanya beberapa saja. Artinya, ketika itu saya sudah mampu membaca dalam hati dan bisa mengkhayalkan sendiri apa yang terjadi pada tokoh-tokoh yang terlibat dalam alur cerita.  

Beranjak SMP saya banyak membaca buku atau novel remaja yang biasanya banyak memuat cinta picisan. Anehnya ketika sudah naik ke jenjang SMA, saya sama sekali tidak tertarik lagi pada buku-buku tersebut. Saya lebih menyenangi karya sastra baik lama atau modern yang bermuatan sosial, tragedi, sejarah atau bahkan science. 

Maka saya berkenalan dengan buku-buku Marah Rusli, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Pramoedya Ananta Toer, dan sebagainya. Saya juga melahap novel novel terjemahan yang best seller di masanya, seperti buku-buku karya Dan Brown, novel Seribu Satu Malam, Kalillah wa Dimnah, dan lainnya.

Dari hobi membaca saat kecil itulah sampai sekarang saya masih ingat alur cerita setiap buku yang pernah saya baca. Bahkan ketika sebuah novel diangkat ke layar lebar, saya lebih senang membaca dari pada menonton filmnya. Saya tidak bisa membayangkan jika saat SD dulu orang tua melarang membaca komik, mungkin saat ini saya sudah enggan membaca buku.

Era telah berubah. Mencari hiburan untuk anak bisa diakses sangat mudah. Ingin nonton film kartun, tinggal aktifkan Youtube atau pilih saluran khusus anak jika di rumah memasang TV kabel. Bosan nonton, bisa main game. 



Dari ketersediaan inilah anak kemudian jadi malas membaca. Jika dibiarkan, bukan tak mungkin angka minat baca dan tingkat literasi di negara kita terus menurun. Inilah yang harus diantisipasi bersama. Jangan sampai karena terlena teknologi, generasi anak-anak kita miskin pengetahuan.

Membaca tidaklah sama dengan menonton. Meskipun sama-sama menyerap informasi, saat menonton otak cenderung lebih sedikit bekerja. Adegan-adegan menarik telah diolah sedemikian rupa, menyebabkan pola pikir anak terpaku tanpa improvisasi. 

Berbeda ketika membaca komik, anak dilatih untuk membaca kalimat, meresapi gambarnya, menikmati perkembangan ceritanya, dan akhirnya meningkatkan kemampuan berbahasa. Nah, kemampuan berbahasa inilah yang nantinya menjadi bekal untuk bisa membaca buku yang levelnya lebih tingi.

Sebuah skripsi yang disusun oleh Novanda Guitarezzhe dan diterbitkan oleh UMY (Universitas Muhammadiah Yogyakarta) menyebutkan ada beberapa dampak negatif bagi anak SD yang sering menonton televisi, di antaranya:

1. Meningkatkan agresivitas dan tindak kekerasan, tidak mampu membedakan antara realitas dan khayalan.

2. Berperilaku konsumtif karena rayuan iklan.

3. Mengurangi kreativitas, kurang bermain dan bersosialisasi.

4. Meningkatkan kemungkinan obesitas (kegemukan) karena kurang beraktivitas.

5. Matang secara seksual.

Memang sih, menonton televisi juga sangat menghibur, tetapi orang tua seringkali tidak bisa mengawasi tontonan anak setiap saat. Masih ingat kan kasus pada tahun 2006 silam, seorang siswa SD di Bandung tewas setelah di-smack down oleh tiga orang teman sebayanya. Kejadian kembali terulang tahun 2007, seorang siswa sebuah SD Katolik di Jawa Timur meninggal karena di-smack down rame-rame oleh temannya.

Berbeda dengan komik atau buku bacaan anak lainnya, orang tua lebih mudah memantau isinya. Komik yang tidak layak dibaca bisa disingkirkan. Nah daripada anak keranjingan nonton televisi, lebih baik anak diarahkan mencari hiburan lain yang lebih menyenangkan yaitu membaca buku. Dan cara paling ampuh untuk menarik minat baca anak ialah komik.

Sayangnya, mayoritas perpustakaan sekolah tidak menyediakan komik. Entah kenapa. Andaikan di sekolah disediakan komik super hero atau komik dari karakter yang terkenal, misalnya Doraemon, Winnie the Pooh, Hello Kitty dan sebagainya, bukan tidak mungkin selama istirahat anak-anak menghabiskan waktunya di perpustakaan.

Jika alasan tidak tersedianya komik khawatir anak kecanduan, tinggal menyiasatinya saja. Tidak boleh membaca komik di dalam kelas, misalnya. Sesederhana itu saja. Toh kecanduan membaca juga sebenarnya tak masalah, asal tugas-tugas dari sekolah tetap dikerjakan. Seiring waktu anak-anak akan meninggalkan kebiasaannya membaca komik. Tanpa diarahkan mereka akan membaca buku yang grade-nya lebih tinggi, seperti pengalaman pribadi saya.

Untuk pengadaan komik, sekolah tak perlu mengandalkan bantuan pemerintah. Dengan alokasi dana yang ada, sekolah bisa membeli komik bekas untuk menambah koleksi perpustakaan. Toh, harga komik bekas tak terlalu mahal, sekitar 5 ribu rupiah saja. 

Sekolah juga bisa menyiasatinya dengan mengadakan program berbagi buku. Setiap semester masing-masing anak menyumbang buku atau komik bekas. Selain mengajarkan para siswa berbagi, dengan sendirinya mereka akan merawat koleksi yang ada, minimal komik yang mereka sumbang.

Meskipun komik baik untuk meningkatkan baca anak, orang tua harus tetap mengawasi kontennya. Sebaiknya jika masih sekolah dasar, anak tidak disarankan membaca komik online, karena banyak iklan khusus dewasa yang biasanya terselip. Jika tidak hati-hati, anak bisa digiring untuk mengakses video porno. Kecuali jika sang anak membaca lewat aplikasi khusus yang menyediakan bacaan buku dan komik online, seperti Ipusnas, yang notabene buatan pemerintah.

Terakhir, hampir semua anak menyukai komik, bahkan balita sekalipun. Gambar yang ada sudah mewakili tulisan atau penjelasan yang sedang dialami tokoh di dalamnya. Tanpa dibaca sekalipun, gambar pada komik sudah dapat bicara. 

Oleh karena itu pengenalan pada komik harus sedini mungkin, bahkan kalau memungkinkan saat anak berusia tiga tahun, ketika mereka sudah bisa membedakan gambar dengan huruf. Nah, Bapak dan Ibu, sudah bukan zamannya lagi melarang anak membaca komik, kan?



 Copyright stekom.ac.id 2018 All Right Reserved