Tiga Antisipasi Masalah Pemanfaatan Artificial Intelligence Terhadap Perlindungan Hak Cipta “Masalahnya, ketika AI itu yang mengandung “DNA” dari karya orang lain digunakan oleh orang yang tidak berhak, dalam hal ini bukan pencipta dan bukan pemegang hak cipta, tentu akan bermasalah ketika dia menghasilkan sebuah karya”. Selasa (30/6) lalu, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenkraf) menyelenggarakan webinar dengan tema. “Bagaimana Artificial Intelligence Mempengaruhi Sistem Hak Cipta”. Pada acara tersebut Staf Ahli Menteri Bidang Reformasi dan Regulasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Ari Juliano Gema mengatakan, pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dalam aktivitas masyarakat khususnya dunia industri semakin masif. Menurut Ari, melalui pemanfaatan AI, pelaku usaha dapat membaca kecenderungan konsumen sehingga dapat meningkatkan kinerja bisnis usahanya. “Pemanfaatan AI sudah lumrah diterapkan pada sektor-sektor perdagangan, padat karya dan jasa keuangan. Tidak hanya itu, tren pemanfaatan AI telah merambah pada industri kreatif seperti periklanan, penulisan novel maupun seni lukis,” katanya. Ari mencontohkan, ada banyak contoh karya seni yang memanfaatkan AI dalam proses pembuatan karya tersebut. Ia mengungkapkan, adapun beberapa contohnya sebagai berikut: Pertama, Lukisan “The Next Rembrandt”. “Merupakan proyek iklan yang dipesan oleh ING Bank kepada J Walter Thompson, sebuah biro periklanan pada 2016. Proyek AI tersebut mampu menganalisis 346 lukisan karya Rembrandt van Rijn, pelukis Belanda yang juga dikenal sebagai pelukis terbesar dalam sejarah seni Eropa,” ujarnya. Ari menyebutkan, pemanfaatan AI tersebut dapat menyimpulkan jika Rembrandt masih hidup saat ini kemungkinan besar akan melukis seorang pria berusia 30-40 tahun, memakai baju hitam dan topi, serta posisi wajah dari sisi kanan. “Iklan tersebut kemudian memenangkan lebih dari 60 penghargaan periklanan,” imbuhnya. Kedua, Pembuatan Novel. “Misalnya, project yang dikembangkan oleh Hitoshi Matsubara dan timnya di Future University Hakodate, Jepang. Novel dari hasil AI tersebut kemudian diikutkan dalam perlombaan, bersaing dengan novel-novel terbaik di Jepang dan hampir memenangkan perlombaan tersebut,” tukasnya. Selain itu, kata Ari, adapun contoh lainnya terkait program dari Botnik Studios, yaitu sebuah perusahaan hiburan Amerika Serikat yang menganalisis tujuh novel Harry Potter sehingga mampu menciptakan prediksi lanjutan dari novel Harry Potter tersebut. “Mulai dari gaya penulisan dan lainnya. Novel Harry Potter sudah tamat, namun digunakan AI untuk menganalisis 7 novel Harry Potter tersebut, sehingga munculah novel buatan Botnik yang orang-orang mengapresiasi dan tidak menyangka bahwa novel tersebut dibuat melalui sebuah program AI,” bebernya. Ari menerangkan, meski memudahkan, pemanfaatan AI pada industri kreatif tersebut ternyata memiliki persoalan hukum dalam perlindungan hak cipta. Disebutkan Ari, ibarat dua sisi mata uang, kemajuan teknologi ini selain menawarkan banyak kemudahan sekaligus dapat memberi ancaman bagi para pelaku ekonomi kreatif dari sisi orisinalitas dan hak cipta. “Sehingga perlu antisipasi bersama dari seluruh pemangku kepentingan ekonomi kreatif untuk dapat mendorong lahirnya produk hukum yang dapat melindungi para pelaku ekonomi kreatif ke depannya. Masalahnya, ketika AI itu yang mengandung “DNA” dari karya orang lain digunakan oleh orang yang tidak berhak, dalam hal ini bukan pencipta dan bukan pemegang hak cipta, tentu akan bermasalah ketika dia menghasilkan sebuah karya,” tandasnya. Ari menyatakan, ada tiga hal yang perlu diantisipasi ke depan atas fenomena di atas tersebut. Adapun sebagai berikut: Pertama, perlu aturan yang jelas mengenai keterlibatan seseorang yang memakai aplikasi AI untuk menghasilkan sebuah karya dalam merancang, membuat, memimpin dan mengawasi, pembuatan karya tersebut sehingga dapat dikategorikan sebagai pencipta karya tersebut menurut Undang Undang Nomor 28 Tahun 2014 mengenai Hak Cipta. Kedua, asosiasi atau organisasi pelaku ekonomi kreatif juga diimbau perlu membuat panduan mengenai batasan kemiripan substansial atas suatu karya di bidangnya masing-masing. “Sehingga dapat mengantisipasi karya yang dibuat aplikasi AI dengan sumber inspirasi dari karya-karya yang sudah ada. Sehingga hasil pemanfaatan AI pada industri kreatif tersebut dapat diklasifikasi saat melanggar hak cipta atau tidak,” ungkapnya. Ketiga, harus dapat merespons perkembangan teknologi khususnya yang mendorong inovasi ekonomi digital. “Sehingga nantinya kita tidak ketinggalan jauh dari perkembangan teknologi dalam membuat kebijakan hukum dan regulasi. Segala hal soal dampak positif dan negatif dapat diantisipasi dengan adanya produk hukum yang melindungi dari dekat,” pungkasnya. Di acara yang sama, Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Freddy Harris yang menyebutkan, hukum akan selalu berkembang dan mengikuti perkembangan yang ada. Menurut Freddy, ke depan AI bisa saja menjadi subjek hukum yang sama dengan perorangan maupun badan hukum seperti korporasi karena memiliki fungsi-fungsi yang sama seperti pembawa hak, pemilik hak ekonomi, pemilik hak moral, pemilik hak terkait, dan lainnya. “Seseorang bisa didenda, dikenakan ganti rugi, dan lainnya. Hanya saja saat ini “rumah” atau aturannya belum dibuat. Tapi kita akan ke sana, mari kita pikirkan kemungkinan bahwa AI bisa menjadi subjek hukum masa depan,” tukasnya. |